Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 27]
Jumat, 19 Januari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah yang hanya dengan taufik-Nya kita bisa beriman dan beramal salih. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, teladan bagi umat manusia. Amma ba’du.

Setelah menjelaskan tentang hakikat dan kedudukan tauhid serta keutamaan tauhid sebagai sebab utama dihapuskannya dosa-dosa, penulis Kitab Tauhid – Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah – melanjutkan pembahasan tentang bab ‘barangsiapa yang merealisasikan tauhid maka dia akan masuk ke dalam surga tanpa hisab’. Pada hakikatnya ini merupakan bagian dari keutamaan tauhid; dimana tauhid menjadi sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Dan ini adalah keutamaan tauhid yang lebih khusus lagi, karena tauhid yang dimaksud adalah tauhid yang sempurna.

Merealisasikan Tauhid

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya…” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Barangsiapa yang merealisasikan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan tauhid sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allah, meskipun sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya…” (lihat Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 4)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tauhid tidak akan terealisasi pada diri seseorang kecuali dengan tiga perkara:

Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.” (Muhammad: 19).

Kedua, i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.

Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?” (ash-Shaffat: 35-36) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55])

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa merealisasikan laa ilaha illallah (baca: tauhid) adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata, “Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan”. Sebagian salaf juga mengatakan, ”Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas”.

Tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan. Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat”. Beliau menjawab, ”Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?”. Setan tidak perlu repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur.

Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang mendapati di dalam hatinya sesuatu yang besar dan tidak sanggup untuk diucapkan. Beliau berkata, ”Benarkah kalian merasakan hal itu?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau berkata, ”Itulah kejelasan iman.” (HR. Muslim). Artinya itu adalah bukti keimanan kalian. Karena hal itu tidak bisa dirasakan kecuali oleh hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid [1/38])

Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan ilahiyah- maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)

Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib, zakat yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Bercak Kemusyrikan

Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah pernah ditanya : Kalau sekiranya anda berkenan mohon jelaskan perkara : bergelimang maksiat dan meninggalkan kewajiban itu tidak terlepas dari bercak/noda kesyirikan?

Beliau menjawab : Tidaklah diragukan, bahwasanya meninggalkan kewajiban adalah perbuatan mengikuti hawa nafsu, atau mengikuti sesuatu yang diikuti sama saja apakah ia berupa hawa nafsu atau orang yang memerintahkan atau ditaati. Demikian pula halnya bergelimang maksiat.

Sesungguhnya hal itu terjadi karena memperturutkan hawa nafsu atau demi menyenangkan orang yang memerintahkannya; sama saja apakah dia adalah kerabat, bukan kerabat, dan sama saja apakah dia adalah bapaknya, ibunya, pemimpin, menteri, atau pembesar/tokoh. Ini semuanya tercampur padanya bentuk ketaatan (ibadah) dan di dalamnya terkandung syirik dalam hal ketaatan. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan.” (al-Furqan : 43)

Perbuatan itu sendiri adalah tindakan memperturutkan hawa nafsu. Demikian juga hal itu tergolong perbuatan menjilat-jilat di balik kepentingan dunia, berupaya untuk mendapatkan dan mengumpulkannya tanpa peduli halal maupun haram. Orang semacam ini pada hakikatnya adalah hamba bagi selain Allah. Dia suka atau tidak, itulah kenyataannya. Dia telah menjadi hamba bagi dirham (uang perak) dan hamba bagi dinar (uang emas).

Karena alasan semacam itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa meninggalkan sholat adalah kesyirikan. Beliau bersabda, “Batas antara seorang hamba dengan syirik atau kekafiran itu adalah dengan meninggalkan sholat.” (Sumber : Transkrip Syarah Kitab Tauhid (2) hal. 4)

Hakikat Seorang Hamba

Sesungguhnya hakikat seorang hamba itu terletak pada hati dan ruhnya. Sementara hati dan ruh itu tidak akan baik kecuali dengan menghamba kepada Tuhannya yaitu Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya. Maka dia tidak akan merasakan ketenangan di dunia ini kecuali dengan berdzikir kepada-Nya. Jiwanya akan terus berusaha menggapai keridhoan-Nya dan ia pasti akan bertemu dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya itu pasti. Dan tidak ada kebaikan baginya kecuali dengan bertemu dengan-Nya.

Seandainya seorang hamba bisa merasakan suatu kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan kekal. Akan tetapi hal itu akan berpindah dari satu bentuk kesenangan menuju kesenangan yang lain, dari satu individu kepada individu yang lain. Pada suatu waktu dia akan bisa merasakan kesenangan dengan hal ini; pada sebagian keadaan. Namun, dalam kondisi lain hal itu yang semula membuatnya senang berubah menjadi tidak menyenangkan dan tidak mendatangkan kenikmatan baginya. Bahkan terkadang berurusan dengannya justru membuatnya tersiksa. Keberadaannya justru mengganggu dan mendatangkan bahaya baginya.

Adapun ilah/sesembahannya -yaitu Allah- maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam kondisi apa pun dan pada waktu kapanpun. Dimana pun berada maka Dia pasti bersamanya. Oleh sebab itu panutan kita Ibrahim ‘alaihis salam sang kekasih Allah mengatakan (yang artinya), “Aku tidak menyukai apa-apa yang tenggelam.” (al-An’am : 76). Sebagaimana ayat paling mulia di dalam al-Qur’an al-Karim ialah firman-Nya (yang artinya), “Allah Yang tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Dia; Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri.” (al-Baqarah : 255) (sumber : Ikramul Muwahhidin karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah, hal. 238-239)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itulah bahan baku/sumber kebahagiaan dirinya. Adapun isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia/urusannya kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 22-23)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah berhala, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu adalah hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah, hal. 41)

Teladan Nabi Ibrahim dalam Merealisasikan Tauhid

Kemudian setelah membawakan judul bab ‘barangsiapa merealisasikan tauhid dst’ penulis Kitab Tauhid membawakan dalil dari al-Qur’an yang menunjukkan salah satu tokoh yang berhasil merealisasikan tauhid, bahkan diberi julukan sebagai bapaknya ahli tauhid, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam; bapaknya para nabi sesudahnya, dan orang yang paling dicintai oleh Allah setelah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan, selalu taat kepada Allah, hanif, dan bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (an-Nahl : 12)

Hanif artinya orang yang berpaling dari syirik menuju petunjuk (tauhid), asal makna ‘hanif’ adalah berpaling dari kesesatan menuju hidayah. Allah telah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai orang yang hanif (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Khalid bin Abdillah al-Mushlih hafizhahullah, hal. 3)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari -pujaan/sesembahan- selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Adapun al-Hanifiyyah itu adalah agama dan ajaran yang berpaling dari segala kebatilan menuju kebenaran dan menjauhi segala bentuk kebatilan dan condong menuju kebenaran. Inilah hakikat dari agama nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu agama Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Bukanlah Ibrahim itu beragama Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67). Hakikat dari millah/agama Ibrahim ini ialah dengan merealisasikan makna dari kalimat laa ilaha illallah; yaitu dengan menolak ibadah kepada selain Allah dan menetapkan ibadah untuk Allah semata (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah, hal. 13-14)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 11)

Pengertian islam dalam makna umum adalah beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya semenjak Allah utus para rasul hingga datangnya hari kiamat. Hal ini menunjukkan bahwasanya semua ajaran nabi-nabi terdahulu adalah islam. Seperti yang dikisahkan mengenai doa Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami, jadikanlah kami muslim/orang yang pasrah kepada-Mu, demikian pula keturunan kami menjadi umat yang muslim/pasrah kepada-Mu.” (al-Baqarah : 128). Adapun islam dalam makna khusus ialah ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ajaran beliau menghapus ajaran syari’at terdahulu. Dengan demikian seorang muslim -di masa kini- adalah orang yang mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa tidak mengikuti beliau maka bukan muslim (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 20)

Allah berfirman (yang artinya), “Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk’. Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (al-Baqarah : 135)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla dalam surat az-Zukhruf (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14)

Millah Ibrahim ini -yaitu tauhid- merupakan hakikat ajaran segenap rasul kepada umatnya. Setiap nabi mengatakan kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 59). Setiap rasul pun menyerukan kepada umatnya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Hakikat ajaran tauhid ini adalah dengan menghadapkan hati kepada Allah semata dan berpaling dari segala sesembahan dan pujaan selain-Nya (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hal. 11)

al-Hanifiyyah ini tidak akan terwujud kecuali dengan dua pilar utama; pertama dengan memurnikan ibadah kepada Allah semata, kedua mencampakkan peribadatan kepada thaghut. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat…” (al-Baqarah : 256). Ibadah kepada Allah merupakah hikmah dan tujuan diciptakannya jin dan manusia. Dan ibadah ini tidak akan terwujud kecuali dengan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata bapaknya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah kecuali Yang telah menciptakanku…” (az-Zukhruf : 26-27) (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah, hal. 5)

Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl : 123)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim al-Khalil ‘alahis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’ Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Para nabi itu adalah saudara-saudara sebapak sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Dan agama mereka itu adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Agama -para nabi- itu sama, yaitu beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, meskipun syari’atnya berbeda-beda yang digambarkan ia seperti kedudukan para ibu…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 3/383)

Kokohnya Keimanan

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87)

Allah berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih-sayang kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, ataupun sanak kerabat mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan di dalam hatinya keimanan dan Allah perkuat mereka dengan ruh/bantuan dari-Nya, dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah hizb/golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya hanya golongan Allah lah yang beruntung.” (al-Mujadilah : 22)

Garis keturunan bukanlah standar cinta dan benci. Saudara kita yang sejati adalah saudara kita yang seakidah. Meskipun orangnya hidup di ujung dunia, maka dia adalah saudara kita. Adapun musuh kita yang sejati adalah musuh kita dalam hal akidah, meskipun dia adalah orang yang paling dekat garis keturunannya dengan kita (lihat Hushulul Ma’mul, hal. 37)

Para sahabat adalah contoh gambaran orang-orang yang kecintaan kepada tauhidnya telah mengalahkan kecintaannya kepada sanak saudara. Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk kuberikan kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatinya dengan air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay bin Salul bertanya, “Apa ini?”. Sang anak menjawab, “Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku membawakannya untukmu agar engkau meminumnya. Mudah-mudahan Allah membersihkan hatimu dengannya.” Sang ayah berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak bawakan saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas air minum itu.” Sang anak pun marah dan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku membunuh ayahku?”. Nabi menjawab, “Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan berbuat baik kepadanya.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)

Dari Anas radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang mendapati hal itu ada pada dirinya maka dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang maka tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah semata. Dan dia benci/tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci/tidak suka apabila hendak dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia telah menyempurnakan iman.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani)

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Simpul keimanan yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dihasankan al-Albani dalam ta’liq Kitab al-Iman Ibnu Abi Syaibah)

Banyak hal yang harus kita teladani dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, salah satu diantaranya adalah cinta dan benci karena Allah, mencintai tauhid dan membenci syirik. Inilah salah satu pilar keimanan yang belakangan ini mulai digerogoti dan dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-27/